Gambang Kromong
Salah satu musik khas dari kesenian Betawi yang paling terkenal adalah Gambang Kromong, dimana dalam setiap kesempatan perihal Betawi, Gambang Kromong selalu menjadi tempat yang paling utama. Hampir setiap pemberitaan yang ditayangkan di televisi, Gambang Kromong selalu menjadi ilustrasi musiknya.Kesenian musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan Cina. Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong.Kesenian Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah Tangerang. Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hu Kong yang berkolaborasi dengan dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa Tehyan dan Kongahyan.Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal yang masih kental unsur klasiknya bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.Pada tahun 70an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan kreativitas "Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran", Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan sentuhan berbagai aliran musik yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang. Hampir di tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi, mencantumkan Gambang Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama.Seniman Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H. Jayadi dan bapak Nya'at.Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi "terengah-engah" antara hidup dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya terdengar di antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal dan tahun kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat tertentu, seperti di Setu Babakan misalnya.Diperlukan pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini, khususnya bagi generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap keseniannya (seni musik dan seni silat) hendaknya harus melebihi generasi muda di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu sendiri yang berada di ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.
Rabu, 04 Februari 2009
Kesenian Khas betawi
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 18.08 0 komentar
Selasa, 03 Februari 2009
Bang Bens
Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Tetapi, lagi-lagi, seserius apa pun, tetap saja orang-orang yang terlibat tertawa terpingkal-pingkal saat Benyamin rekaman lagu I"m a Teacher dan Kisah Kucing Tua dengan penuh improvisasi. Sementara lagu Dingin Dingin Dimandiin dan Biang Kerok bernuansa cadas. Dan Ampunanmu kental dengan progressive rock, diantaranya nuansa Watcher of the Sky dari Genesis era Peter Gabriel.Yang menarik, masih menurut Harry, saat Benyamin menonton Earth, Wind, and Fire di Amerika - saat menjenguk anaknya yang kuliah di sana - dia langsung komentar, "Nyanyi yang kayak gitu, asyik kali ye?", dan nuansa itu pun hadir di beberapa lagu di album itu, salah satunya dengan sedikit sentuhan Lady Madonna dari The Beatles.Benyamin yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Ia bukan lagi sekadar sebagai tokoh masyarakat Betawi, melainkan legenda seniman terbesar yang pernah ada. Karena itu banyak orang merasa kehilangan saat dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa.Dari pelawak yang pernah tampil dalam variety show Benjamin Show sambil tour dari kota ke kota sampai Malaysia dan Singapura ini muncul banyak idiom atau celetukan yang sampai kini masih melekat di telinga masyarakat, khususnya warga Jakarta. Sebut saja, aje gile, ma"di kepe, atau ma"di rodok, yang semuanya lahir dari lidah Benyamin.
BiodataNama: Benyamin SuebLahir: Jakarta, 5 Maret 1939Meninggal: Jakarta, 5 September 1995Isteri: Noni (Menikah tahun 1959)Pendidikan:Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan & Ketatalaksanaan, Jakarta (1960) Akademi Bank Jakarta, Jakarta (tidak tamat) SMA Taman Madya (Taman Siswa), Jakarta (1958) SMPN Menteng, Jakarta (1955)Riwayat Pekerjaan:Aktor, penyanyi, penghibur Kondektur PPD (1959) Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960) Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1968) Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969)Penghargaan:Meraih Piala Citra 1973 dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) bersama Rima Melati Meraih Piala Citra 1975 dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975)Film yang dibintangi:
01. Honey Money and Jakarta Fair (1970)
Benyamin, Enggak "Ade Duenye" Meraih Piala Citra sebagai Pemeran Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia 1973 lewat film Intan Berduri dan 1974 dengan Si Doel Anak Modern tidak menepis popularitas Benyamin Suaeb sebagai penyanyi. Lagu-lagunya yang menggunakan bahasa khas Betawi juga tidak menjadi penghalang bagi pendengar kaset atau penonton pertunjukannya untuk menikmati keserbabisaan Benyamin di atas panggung.Selain digandrungi di negerinya sendiri, Benyamin juga sangat dikenal di Malaysia. Bahkan, dia sempat manggung di Moskwa, Rusia.Jauh sebelum Iwan Fals melancarkan protes lewat Bento dan Bongkar tahun 1990, Benyamin sudah melakukan hal yang sama dengan lagu Digusur 20 tahun sebelumnya. Hanya saja, Benyamin menggunakan bahasa khas Betawi yang sarat humor sehingga Digusur justru menimbulkan senyum Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.Sementara lagunya yang mengkritik pemerintah, berjudul Pungli, memperoleh penghargaan dari Kopkamtib. Lagu itu dianggap menunjang program Operasi Tertib yang sedang digalakkan pemerintah tahun 1977.Orang pertama yang membuat Benyamin berani menjadi penyanyi adalah Bing Slamet. Setelah menyerahkan lagu ciptaannya, Nonton Bioskop, untuk direkam Bing Slamet, Benyamin justru disarankan membawakan sendiri lagu itu.Lagu yang berirama pop itu sempat populer lewat suara Bing Slamet. Tak heran jika air mata Benyamin mengalir deras dan menangis sesenggukan ketika Bing Slamet tutup usia pada 17 Desember 1974. Anak Kemayoran yang lahir sebagai Benyamin Suaeb dan namanya diabadikan pada sebuah jalan di tempat kelahirannya itu mulai menjadi penyanyi pop sebelum dikenal sebagai penyanyi khas lagu Betawi dan bintang film. Ia mendirikan grup Melodi Ria tahun 1957 dan bermain bersama pemusik jazz Jack Lesmana dan Bill Saragih, serta si penyanyi Patah Hati, Rachmat Kartolo.Melodi Ria beranggotakan Rachman A (gitar melodi), Heri Sukarjo (bas betot), Achmad (klarinet), Imam Kartolo (piano, saksofon), Suparlan (gitar), Saidi S (bongo), Eli Srikudus (penyanyi), Rachmat Kartolo (penyanyi), dan Benyamin (penyanyi). Bersama grup ini, Benyamin sempat merekam sejumlah lagu, antara lain Kisah Cinta, Panon Hideung, Nonton Bioskop, dan Si Neneng.Naga MustikaKiprahnya dalam musik pop membawa Benyamin ke klub-klub malam. Saat itu dia menyanyikan lagu-lagu Barat seperti Unchained Melody, Blue Moon, dan El Mondo. Tetapi, apesnya, sebagaimana Koes Bersaudara yang dijebloskan ke penjara karena membawakan lagu-lagu The Beatles, Benyamin juga diganyang dan dilarang manggung di klub-klub malam.Larangan membawakan lagu ngak-ngik-ngok atau lagu Barat itu dikeluarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1965. Tetapi, Benyamin ternyata tidak patah arang. Dia memutar otak dan sebagai jalan keluarnya ia menyanyikan lagu-lagu khas Betawi dengan iringan musik gambang kromong.
"Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi," kata penyanyi kelahiran Jakarta, 5 Maret 1939, ini kepada Kompas tahun 1994, satu tahun sebelum menutup usianya setelah kena serangan jantung ketika sedang bermain olahraga kesenangannya, sepak bola. Dia dirawat selama sembilan hari di Rumah Sakit Harapan Kita sebelum meninggal 5 September 1995. Untuk melaksanakan niatnya membawakan lagu-lagu dengan ciri khas Betawi, Benyamin bergabung dengan grup gambang kromong Naga Mustika pimpinan Suryahanda. Keberhasilan Benyamin tidak terlepas dari musik yang ditata "jago-jago" gambang kromong waktu itu, seperti Budiman BJ, Darmanto, dan Asep S.Sebagai anggota grup Naga Mustika, Asep S juga menciptakan sejumlah lagu untuk dinyanyikan duet Benyamin dan Ida Royani, seperti Tukang Loak, Bertengkar, Si Bontot, Luntang- Lantung, Muara Angke, Si Jabrik, Nasib, Pelayan Toko, Si Denok, Petik Kembang, Layar Tancep, Pacar Biduan, Pulang Kerje, Tuak Manis, Tukang Grobak, Gara-Gara Anak, dan Pacar Biduan.Duet Benyamin dan Ida Royani dengan lagu-lagu gambang kromongnya bisa dikatakan paling populer pada awal tahun 1970-an. Diperkirakan, mereka menyanyikan sekitar 150 lagu yang diciptakan Benyamin maupun pencipta lagu lainnya seperti Joko S atau abang Benyamin sendiri, Saidi Suaeb."Saya bertemu pertama kali dengan Benyamin di Studio Dimita. Pemilik studio itu, Oom Dick Tamimi, menawarkan saya membawakan lagu ciptaan seorang yang belum saya kenal. Ketika diperkenalkan, saya bertemu seorang pemuda yang dekil dan bersandal jepit. Dia senyum-senyum kepada saya. Lagunya yang berirama pop, saya tolak. Soalnya waktu itu saya dikenal sebagai penyanyi yang fensi (trendi) dengan celana hot pants dan sepatu lars," kenang Ida Royani yang sekarang berusia 50 tahun ketika dihubungi awal Februari 2004.
Akan tetapi, entah mengapa, ketika Dick Tamimi kemudian menawarkan berduet dengan pemuda dekil itu pada tahun 1970, Ida bersedia. Padahal, penggemarnya banyak yang protes dan merasa Ida yang populer dengan lagu-lagu popnya dianggap tidak cocok berduet dengan Benyamin. Namun, Ida jalan terus dan sampai tahun 1990, atau 20 tahun kemudian, masih berduet dengan Benyamin dalam rekaman maupun tampil di atas panggung.Lagu-lagu Benyamin dan Ida Royani adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat Betawi. Begitu melihat judulnya saja, langsung bisa dirasakan kebetawiannya. Ada Ngidam Lagi, Ngupi, Nonton Cokek, Ondel-Ondel, Onta Punya Cerita, Pendaringan, Penganten Sunat, Kompor Meleduk, Roti Gambang, Layar Tancep, atau Pulang Kerje."Meskipun beberapa di antara lagu-lagunya berbau Sunda, Benyamin membuatnyamenjadi milik Betawi. Misalnya, Ayun Ambing, lagu yang meninabobokan anak," ujarseniman Betawi, SM Ardan, sambil menambahkan bahwa lagu-lagu Benyamin jugaberlirik kocak dengan gaya Betawi.
Coba lihat lirik Nonton Bioskop: Jalan kaki di gang gelap/Pulang-pulang nginjek gituan (kotoran manusia). Dan juga sangat nakal sehingga sering bagaikan "pisau bermata dua" atau berkonotasi porno: Gimane lobangnya aje/Kecil atawe gede (lagu Tukang Solder).Atau dalam lagu Perkutut. Liriknya begini: Burung gue pegangin (Benyamin)/Ogah ah/Mendingan dilepasin (Ida Royani)/Ntar die menclok di wuwungan laen (Benyamin)/Pengen tahu die menclok sembarangan/Gue jepret (Ida Royani).Sampai tahun 1974 Benyamin menghasilkan sekitar 20 album yang berisikan lagu-lagu yang dia nyanyikan sendiri maupun berduet dengan penyanyi lain. Nyebur-nya penyanyi yang memperoleh penghargaan dari Yayasan Husni Thamrin pada tahun 1974 untuk pengabdiannya dalam bidang musik ini bersama musik gambang kromong ke industri musik Indonesia sedikit banyak juga terpengaruh apa yang dilakukan Vivi Sumanti dan Lilies Suryani, yang sudah terlebih dahulu menyanyi dengan iringan musik yang biasanya mengiringi pertunjukan lenong ini.
"Kelebihan Benyamin adalah lagak dan gayanya, selain lirik lagu. Kami sempatmanggung ke seluruh Indonesia. Di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Irian,kebanyakan penonton tidak mengerti bahasa Betawi. Tetapi, mereka tertawaterpingkal-pingkal melihat Benyamin di atas panggung," kenang Ida Royani yangmenikah dengan pemusik Keenan Nasution tahun 1979.
Mewakili zamannyaMenelaah lagu-lagu Benyamin, kita juga bisa langsung membaca keadaan pada waktu lagu-lagu itu dibawakan. Hostess (istilah untuk wanita-wanita muda yang bekerja di kelab malam) menggambarkan pengalaman Benyamin ketika malang melintang di kehidupan malam Jakarta. Demikian juga steambath yang merekam praktik prostitusi terselubung yang marak di kota-kota besar pada tahun 1970-an.Bayi Tabung adalah rekaman peristiwa yang menjadi topik sejarah saat lagu itu diluncurkan. Sementara kata taisen, yang kemudian di kalangan muda-mudi artinya menjadi pacar, berasal dari judi hwahwe yang marak di Jakarta akhir 1960-an dan awal 1970-an.Judi itu menjanjikan 36 angka keberuntungan dengan simbol binatang pada setiap angkanya. Angka 1 (ikan bandeng), misalnya, taisen-nya angka 5 (singa), angka 30 (monyet) taisen-nya angka 23 (ikan mas koki), dan seterusnya. "Kalau adek jadi ikan mas koki, abang yang jadi taisennya... monyet dong," kata Benyamin dalam salah satu lirik lagunya. Walaupun judul lagu Benyamin sering terkesan "sembarangan", seperti Brang Breng Brong (yang diciptakannya bersama Bing Slamet), Cong Cong Balicong, Kompal Kampil, Petangtang Petingting, atau Abakikik Abakikuk, masyarakat yang menerima kebiasaannya itu justru bertambah luas. Kebiasaan ini terus terlihat dalam lagu yang lain, Bom Pim Pah (duetnya bersama Rita Sahara), atau duetnya bersama Euis Darliah, Ngaca, atau yang dinyanyikannya sendiri, Ngaco atau Mumpung.Bukan hanya judul dihasilkannya seketika, lirik lagunya juga muncul spontan. Judul dan lirik lagu Begini Begitu idenya muncul begitu saja di studio rekaman. "Kalau saya kehabisan ide, biasanya saya berteriak atau ngedumel. Eh, enggak tahunya, teriak atau dumelan saya itu menjadi kata yang pas untuk lagu saya," kata Benyamin pada suatu ketika."Itu yang namanya senggakan. Biasanya yang demikian itu memang muncul secaraspontan, sebagaimana dialog-dialog pemain lenong, muncul begitu saja di ataspanggung," komentar SM Ardan, yang sekarang sedang menyusun biografi aktorSukarno M Noor.Di samping pop dan gambang kromong, Benyamin juga merambah jenis musik yang sedang mewabah pada tahun 1970-an, seperti blues, rock, hustle, dan disko. Walau demikian, Benyamin tidak lupa pada keroncong dan seriosa, sebagaimana Blues Kejepit Pintu, Seriosa, Kroncong Kompeni, Stambul Nona Manis, atau Stambul Kelapa Puan.Keserbabisaan Benyamin yang lain ditunjukannya dalam lagu Disangka Nyolong atau Dingin Dingin Dimandiin, yang dibawakannya dengan dengan gaya menangis, tetapi tetap saja menimbulkan tawa pendengarnya.Benyamin juga tidak lupa menyanyi tanpa canda seperti Abang Husni Thamrin atau Mengapa Harus Jumpa. Keseriusannya menyanyi diperlihatkan ketika dia membentuk grup Al Hadj pada tahun 1992, yang terdiri atas pemusik rock: Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya.Benyamin menyanyikan lagu-lagu berirama rock, blues, dan metal: Biang Kerok, Maaf Kutak Datang, Ampunan, Mojok, I"m A Teacher, Kisah Kucing Tua, Balada Dalam Penjara, Dingin Dingin Dimandiin, Seliweran, dan Tragedi Cinta. "Waktu itu dia mengatakan ingin menyanyi lagu rock sebagaimana Achmad Albar dari God Bless. Maka kami membuat lagu dan musik yang sesuai dengan karakternya. Dia bernyanyi sangat luar biasa. Album bersama Al Hadj barangkali merupakan rekamannya yang terakhir," ujar Harry Sabar yang menciptakan Biang Kerok.Selain merekam sekitar 300 lagu (berduet dan menyanyi sendiri dalam periode 1964-1992), Benyamin juga menghasilkan sekitar 53 film dari tahun 1970 hingga 1992. Ini belum termasuk sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994), dengan celetukan khas dia, "tukang insinyur", yang muncul di sini. Lalu Mat Beken dan Bergaya FM (1995). Untuk mengenang Benyamin S, Titiek Puspa menciptakan lagu dengan judul Ben yang dibawakannya sendiri ketika diadakan acara "Mengenang H Benyamin S" di Istora Senayan, Jakarta, 22 Oktober 1995.Liriknya antara lain sebagai berikut:".. Dia Jakarta asli Tetapi dicinta se-Nusantara Dia yangrendah hati Hidup rukun tanpa perkara Jiwa raga seni semata Taatnya pada agamaTerpanggil-Mu saat jayanya Oh Ben kau telah pergi Pergi takkan kembali Banggakagum dan cinta Engkau satu tiada duanya. Benyamin memang enggak ade duenye
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 19.05 0 komentar
Siapa Orang Betawi?
Betawi, salah satu etnis di Indonesia yang dipercaya sebagai etnis penduduk asli kota Jakarta. Agak unik membicarakan etnis Betawi, secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam. Etnis Betawi juga agak sulit untuk dilacak asal muasalnya karena minimnya literatur dan peninggalan bersejarah yang ada. Beda dengan etnis-etnis lain di Indonesia yang dapat dengan mudah dilacak sejarah perkembangan budaya mereka.
Apa yang disebut dengan etnis atau orang Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis lain yang sudah hidup lebih dulu di Jakarta adalah orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon dan Melayu. Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab MA menaksir etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893.
Perkiraan itu didasarkan atas studi sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus. Dalam sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan etnis ini juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan satuan sosial politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan “Perkoempoelan Kaoem Betawi”. Saat itulah segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Pada tahun 1930 kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada, muncul sebagai kategori etnis dalam data sensus.
Namun bukan sejarah namanya kalau tanpa polemik. Ridwan Saidi, sejarawan, budayawan dan sekaligus politikus Betawi mencoba meluruskan semua teori tersebut. Ia berpendapat Betawi bukanlah etnis “kemarin sore”. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan Batavia di atasnya. Ridwan menunjuk bukti keberadaan orang Betawi tersebut secara geografis, arkeologis dan sejarah perkembangan bahasa dan budaya. Lebih lengkap perihal teori Ridwan Saidi dapat dilihat dalam beberapa bukunya diantaranya berjudul ; Profil Orang Betawi (1997), Warisan Budaya Betawi (2000), dan Babad Tanah Betawi (2002).
Keberadaan etnis Betawi memasuki fase baru sejak kemerdekaan 1945 hingga detik ini. Kota Jakarta sejak kemerdekaan dibanjiri imigran dari berbagai etnis di Indonesia dalam jumlah sangat besar. Akibatnya orang-orang Betawi mau tidak mau berasimilasi dengan para imigran tersebut. Hal ini menyebabkan entitas asli Betawi semakin pudar. Ditambah lagi dengan karakter orang Betawi yang sangat egaliter dalam menerima setiap kebudayaan yang datang.
Perihal ini saya pernah bertanya kepada budayawan sekaligus penyair Bapak Sapardi Joko Damono beberapa tahun silam. Menurutnya orang Betawi telah mengalami sebuah fase perubahan yang pesat akibat proses asimilasi. Namun perubahan tersebut tidak membuat orang Betawi ataupun etnis Betawi menjadi punah, melainkan bermetamorfosis menjadi etnis atau orang Betawi baru. Betawi yang terbentuk akibat proses asimilasi dengan budaya lain di Kota Jakarta. Dan ini menurut saya merupakan fase kedua terbentuknya etnis Betawi akibat perpaduan berbagai etnis yang ada. Hanya saja dalam fase ini perubahan dalam hal budaya dan kesenian tidak terlalu banyak pengaruh. Hanya dalam hal pembentukan entitas orang Betawi yang banyak berpengaruh.
Setelah beberapa tahun berlalu saya pun mulai bertanya kembali, orang Betawi seperti apa yang dimaksudkan oleh mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu? Apakah seorang Joko, anak yang mempunyai kedua orang tua beretnis Jawa, tetapi ia lahir dan besar di Jakarta bisa disebut orang Betawi? Gaya bicara Joko sudah sangat kental dengan logat Betawi, bahkan ia pun tidak bisa berbahasa Jawa dan tidak pernah lagi mengenal kampung halamannya di Jawa. Atau seorang Henrizal, anak yang lahir di Jakarta dan kini menetap di Bandung dari Bapak beretnis Padang dan Ibu dari Batak layak disebut orang Betawi?
Ataukah seorang Abas yang lahir dari kedua orang tua yang beretnis Betawi, tetapi dalam kesehariannya ia jarang menggunakan bahasa Betawi akibat lingkungan akademik dan tempat kerjanya layak disebut orang Betawi? Ia juga tidak pernah menampakkan atau bangga disebut sebagai orang Betawi dalam kehidupannya. Atau setiap orang yang mengaku beretnis Betawi adalah orang Betawi? Ataukah pendapat lain yang meyatakan orang Betawi adalah mereka yang telah hidup minimal 3 generasi di Jakarta. Sampai sekarang tidak ada kejelasan dalam hal tersebut.
Orang Betawi memang jarang menganggap penting asal muasal keturunannya yang masih jadi polemik. Bagi orang Betawi yang lebih penting adalah memikirkan masalah kematian dan bagaimana mengisi kehidupan sebelum mereka meninggal. Hal ini berdasarkan keyakinan mereka yang kuat terhadap agama Islam sebagai nafas budaya mereka. Itulah oang Betawi yang sangat toleran terhadap berbagai etnis lain. Bagi orang Betawi kualitas manusia itu tidak ditentukan oleh keturunan siapa, melainkan isi kepala dan perilakunya.
Begitulah orang Betawi, walaupun secara geografis, mayoritas wilayahnya sudah diambil orang lain alias tergusur, namun orang Betawi masih tetap eksis. Karena orang Betawi yakin mereka tidak pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, sebagai kampung halaman mereka. Selama Jakarta masih ada, selama itu pula akan muncul ornag-orang Betawi baru. Nah pertanyaanya sekarang, merasa orang Betawi-kah anda?
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 19.03 0 komentar
Senin, 02 Februari 2009
Silat Betawi Aliran Sabeni
Tangan lelaki berusia 74 tahun itu berkelebat cepat. Punggung tangannya beradu. Plak! Suaranya begitu keras. Kakinya maju selangkah sambil menebas ke kiri dan kanan. Tetap dengan serangan jurusnya, ia berputar mengelilingi ruang tamu rumahnya. Sebentar kemudian, napasnya memburu. “Maklum, ude berumur,” katanya sembari tertawa.
Mengenakan peci hitam, kemeja, dan celana pangsi putih, Muhammad Ali bin Sabeni terlihat gagah. Ia bak sosok jago Betawi tempo dulu. Cocok dengan statusnya sebagai ahli waris Silat Betawi Aliran Sabeni.
“Yang barusan itu namenye Kelabang Nyebrang,” ujar Babe Ali, panggilan akrab Sabeni. Kelabang Nyebrang adalah jurus silat yang membuat ayah Ali, Sabeni bin Haji Chanam, melegenda di tanah Betawi. Sejarahnya, Sabeni, yang mendirikan Aliran Silat Sabeni, adalah jago Betawi yang disegani di Tenabang (nama Tanah Abang dulu kala).
Babe Ali bercerita. Aktivitas ayahnya, yang lahir pada 1860, sempat membuat Kompeni Belanda tak senang. Sebab, dia yang mengajarkan anak-anak muda Tenabang ilmu silat Bahkan Kompeni sempat mengupah jawara lokal untuk menghabisi Sabeni. Tapi gagal. Kehabisan akal, Kapten Danu yang memimpin Hoofdbureau van Politie (Kepolisian Hindia Belanda) memanggil petinju dari negara asalnya dan seorang jago kungfu dari Cina untuk menantang Sabeni.
Princen Park (sekarang Taman Lokasari, Jakarta Barat), disaksikan ratusan warga Betawi dan Belanda, Sabeni berhasil mengalahkan kedua lawannya itu. Bukan cuma kali itu Sabeni harus menghadapi musuh asing. Kala Jepang masuk pada 1942, ia ditantang di ebon Sirih Park (sekarang Balai Kota DKI) untuk bertarung dengan ahli karate dan judo.
Sabeni, yang ketika itu sudah berusia 83 tahun, menang lagi. Dua pertarungan itu diabadikan dalam film Berkas Tempo Doeloe yang diputar TVRI pada 1985. Jalan Kuburan Lama, Tanah Abang, tempat makam Sabeni, oleh pemerintah DKI diganti menjadi Jalan Sabeni.
Begitu melegendanya nama Sabeni sampai almarhum Benyamin Suaeb datang kepada Babe Ali untuk minta izin menggunakan nama Sabeni dalam karakternya di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. “Saya izinkan karena nama Sabeni kan banyak,” katanya. Saat ini Silat Betawi Aliran Sabeni diteruskan oleh Babe Ali, yang merupakan anak ketujuh Sabeni.
Karena usia yang sudah lanjut, tugas melatih diserahkan kepada anak lelakinya, Zul Bachtiar. Ciri khas aliran itu adalah karakternya yang memang dikhususkan untuk bertarung. Menurut Eko Hadi Sulistia, murid Aliran Sabeni yang juga pengurus Forum Pelestari dan Pencinta Pencak Silat Tradisional Indonesia (http://www.silatindonesia.com/), Aliran Sabeni tidak memiliki embang dan memang murni untuk beladiri.
Pukulan tangan dan tendangan kaki, pada silat Betawi lain, dilakukan bergantian untuk menyerang. Pada Aliran Sabeni justru dilakukan bersamaan. “Lawan akan sulit mengantisipasi serangan.” Ciri khas lainnya adalah Aliran Sabeni mengandalkan gerakan tangan yang sangat cepat dengan sasaran muka dan daerah-daerah berbahaya.
Dan yang tak kalah penting, “Tidak boleh ada jarak dengan lawan. Kami harus bertarung dengan jarak yang sangat dekat.” Dengan segala keunikannya, Aliran Sabeni memiliki keunggulan dari aliran silat yang lainnya. Tapi itu juga menjadi kelemahannya karena ternyata cukup sulit untuk mempelajarinya.
Maraknya olahraga beladiri asing di Tanah Air membuat Aliran Sabeni hanya memiliki anggota yang bisa dihitung dengan jari. “Kami berharap banyak anak muda yang mau melestarikannya,” kata Eko. (silatindonesia.com)
AMAL IHSAN - Tempo
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 23.39 0 komentar
Jangan Panggil AKu Banten
“Betawi!” jawab Pak Kurnia, mengakhiri perbincangan kami malam itu. Ia pun segera melipat Tempo yang ia bawa dari Indonesia, dan memasukkannya kedalam tas hitam yang berisi laptop
Agak telat sepuluh menit pesawat kami landing di lapangan udara Changi, Singapura. Tak lama sku dan Pak Kurnia berpisah setelah keluar dari pesawat. Pak Kurnia yang memang bertujuan ke Singapura, segera mengambil jalur keluar bandara, sementara aku mengambil jalur transit untuk melanjutkan penerbanganku ke Kairo.
Beruntung aku ada teman ngobrol sepanjang penerbangan dari Cengkareng ke Singapura, jadi perjalananku nggak terasa membosankan. Apalagi Pak Kurnia yang saya kenal tadi, orangnya asyik diajak ngobrol apa aja, pemikiran, perkembangan teknologi, pergaulan bebas, bahkan sempai ke ngritik pemerintahan. Wah pokoknya, gaul abiz!
Dua jam tiga puluh menit, lama juga aku harus menunggu di Bandara Changi ini, untuk boarding pass penerbangan selanjutnya menuju Kairo.
Sejenak kuperhatikan setiap sudut ruang di Bandara itu, beda, jauh banget ama Soekarno-Hatta. Dari tadi orang yang berseliweran kesana-kemari kebanyakan bermata sipit dan berkulit putih. Jarang ada orang Indonesia yang berseliweran. Aku membayangkan betapa membosankannya penerbanganku nanti menuju Kairo tanpa teman ngobrol.
Selintas, setelah melihat orang-orang yang berseliweran itu, aku teringat Pak Kurnia. Kulitnya putih, matanya sipit, rambutnya tipis dan berkacamata. Tapi kenapa dia bilang orang Betawi yah? Aku terkesima ketika dia bercerita tentang keluarganya. “Alaaah, udeh kagak useh repot-repot ke Serang segale, kayak kagak ade kantor imigrasi lain aje dimari?” ucap Pak Kurnia, menirukan gaya ngomong Babehnya.
“Eh, Kur. Kite ini bukan orang Banten! Kakek ame Nenek elo, Betawi asli, Srengseng Sawah! Dari dulu juga kite kagak pernah berurusan ame orang-orang Banten, apalagi sampe kudu ke Serang segale. Kagak ade, Kur! Elo liat dong, Kite ini beda kebudayaan, beda bahase, beda segale-galenya. Kite labih deket ke Jakarte dari pade ke Serang, Kur! Biar kate daerah kite ini masih diitung Banten, tapi Kite bukan keturuannye, Elo inget itu, Kur!”
Pak Kurnia begitu bersemangat meceritakan obrolannya bersama Babehnya. Pak Kurnia adalah orang yang mendukung terwujudnya Propinsi Banten, bahkan ia pun ikut terlibat dalam persiapan pembentukan Propinsi Banten. Namun, Babehnya yang notebene keturunan betawi asli, terus-terusan mencelanya. Setiap kali ia ngobrol dengan Babehnya tentang masa depan Banten, Babeh selalu mementahkannya.
“Elo itu kagak tau diuntung, Kur! Ngapain elo ngurusin nyang begitu-begituan? Udeh, mendingan elo bangun nih tanah leluhur lo, Betawi!”
“Kur, kagak ade sejarahnye Tangerang masuk Banten. Dari jaman Sabenih juge kita itu deket ame Batavia, Betawi, Kur! Lagian juge, Banten punye ape sih? Elo liat dong Jakarte! Banyak gedong-gedong tinggi, banyak kantor-kantor, elo khan lebih gampang nyari kerjaan di Jakarte!”
Sesekali Aku menyempatkan diri bertanya tentang riwayat hidup Babehnya.
Babeh itu, memang keturunan Betawi asli, makanya dia selalu nolak diajak ngobrol tentang Banten, ‘kagak ade urusan’ katanya. Dia lahir di Srengseng Sawah, daerah yang didominasi oleh orang-orang Betawi. Terus, sejak umur dua tahun, pindah ke Ciledug, Tangerang. Disana dia besar dan nyari penghidupan, sampai akhirnya ketemu jodoh dan nikah. Babeh memang orang yang energik, sampai punya anak enam pun dia masih semangat bekerja, padahal anak-anaknya sudah banyak yang menyarankan istirahat.”
“Pernah suatu ketika, Babeh ditawarin kerjaan, tapi syaratnya dia harus tinggal di daerah dekat pabrik itu, Krakatu Steel, di Cilegon. Tanpa pikir panjang Babeh menolaknya. ‘Gue masih bisa idup sekalipun kagak kerja disana!’ ujarnya. Babeh.. babeh... dasar kolot!” Pak Kurnia asyik menceritakan semuanya kepadaku.
“Trus... setelah Banten jadi Propinsi, apa tanggapan Babeh Pak Kurnia?”
Aku semakin larut dalam cerita Pak Kurnia.
“Sama sekali nggak ada perubahan! Sekali Betawi, tetap Betawi! Fanatiknya yang berlebihan terhadap Betawi, menjadikan dirinya tertutup dari fenomena yang terjadi di sekitarnya. Bagi Babeh, jadi atau nggak jadinya Banten sebagai propinsi, dia tetap nggak ada urusan, dia tetap orang Betawi! Banten, hanya sekedar tempat tinggal, ‘Cuma tinggalnya doang di Banten, tapi hati Babeh tetep Betawi!’, apalagi pas Babeh melihat di media masa tentang keputusan Banten jadi propinsi, Babeh mencibirkan bibirnya, ‘Alaaah, mau jadi apa sih Banten, kagak punya penghasilan yang bisa diandelin, mau ngandelin Pelabuhan Merak? Yah, masih bagusan Pelabuhan Tanjung Priok dong! Atau mau ngandelin pantai nyang ada di Carita? Yah, masih bagusan pantai Ancol dong!’ Babeh terus tanya-jawab dengan dirinya.”
“Ooo, begitu...” jawabku singkat, menyertai cerita Pak Kurnia.
“Memang, kalau kita lihat sekali lagi, Tangerang itu, lebih dekat ke Pusat Jakarta, ketimbang ke Serang yang menjadi pusat pemerintahan Banten sekarang ini. Selama ini juga, Tangerang menjadi kota yang paling maju dibanding kota-kota lain di Banten. Sebelum Banten jadi propinsi, di Tangerang sudah banyak gedung-gedung pencakar langit, sekolahan dan universitas yang bonafid, rumah sakit bertaraf internasional, perumahan-perumahan mewah sekelas Pondok Indah di Jakarta, mal-mal yang lebih megah dari Ramayan atau Mega M di Cilegon. Semuanya itu bukan gara-gara Banten jadi propinsi.”
Aku terdiam sejenak, memperhatikan mimik Pak Kurnia yang kali ini lebih serius menguraikan ceritanya.
“Sekarang ini, sekalipun secara geografis Tangerang masuk kedalam propinsi Banten, tapi jarang banget orang Tangerang yang mau mengaku dirinya atau tempat tinggalnya Banten. Mereka lebih suka mengaku orang Jakarta. Bahkan sebagian mereka merasa geli ketika mendengar kata Banten, entah kenapa?”
Aku mengganti posisi dudukku agar lebih nyaman mendengarkan cerita Pak Kurnia.
“Apalagi di Banten, masih ada budaya golok dan jawara. Wah, bisa-bisa mati terpenggal tuh leher orang-orang Tangerang.”
Aku menganggukkan kepala yang sebenarnya tidak ingin Aku lakukan, hanya sekedar mengiringi cerita Pak Kurnia saja, supaya lebih hidup dan supaya saya kelihatan faham apa yang diceritakan Pak Kurnia. Kadang hatiku merintih lara, kenapa Bantenku begini? Kenapa aku jadi Banten? Kenapa mereka tidak mau disebut Banten?
“Hmm... kalo Babeh Pak Kurnia begitu fanatik terhadap Betawi, bagaimana dengan Bapak?” Aku menanyakan dengan nada pelan.
“Saya? Dulu, saya termasuk orang yang mengusahakan Banten menjadi propinsi. Tapi sekarang, sepertinya saya Betawi, De!
***
*Awi Sakti adalah nama pena dari Edi Hudiata HMT, sedang menyelesaikan S1-nya di salah satu universitas di Mesir. Tulisan fiksinya (berupa cerita pendek) pernah diikutsertakan dalam perlombaan di Kairo, sementara tulisan non fiksinya pernah dimuat Koran Fajar Banten. Manusia yang senang membaca dan menulis ini selalu bercita-cita dirinya menjadi 'manusia pembelajar'.
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 23.02 0 komentar
Asal Muasal Kate Betawi
Lenggang Betawi : Asal-muasal Kata Betawi
HINGGA kini tidak ada yang mengetahui persis asal muasal lahirnya kata Betawi. Padahal, kata Betawi apalagi di Ibu kota Jakarta sudah sangat tersohor. Bahkan telah menjadi nama sebuah suku-bangsa yang disebut-sebut sebagai golongan penduduk asli kota Jakarta, sebuah kota yang lahir dari sebuah codetan sungai. Dari Betawi inilah lahir tokoh yang banyak dikenal orang. Ada Benyamin Suaeb yang dikenal sebagai penghibur tulen dengan aksi lawakannya. Ada juga Firman Muntacho dengan ceritera humor berciri khas Betawi. Jenderal pun ada yakni Letjen (Purn) HM Sanif. Kalangan akademikus juga ada yaitu Prof Dr MK Tadjudin. Di dunia perbankan juga muncul Abdullah Ali dengan BCA-nya. Ini hanya contoh, masih banyak lagi di DPRD, DPR dll.Banyak versi tentang asal-muasal lahirnya kata Betawi. Salah satunya menyebutkan bahwa kata Betawi muncul secara tiba-tiba ketika terjadi peperangan antara serdadu Kumpeni Belanda dengan balatentara Mataram. Ketika itu memang Kerajaan Mataram sangat benci dengan kehadiran Kumpeni Belanda yang ngotot untuk diberi izin mendirikan sebuah kantor perwakilan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) – Persekutuan Dagang Hindia Timur.Toh akhirnya memang VOC berhasil mendirikan kantor di kota Batavia. Tak hanya itu sebab VOC juga ikut membangun benteng pertahanan untuk menghadapi serangan balatentara Mataram yang dikenal sangat gigih dalam berperang. Nah dalam sebuah pernyerbuan balatentara Mataram ke Batavia, konon pihak Kumpeni Belanda yang bertahan di benteng mulai kehabisan peluru dan benteng Belanda hampir dapat direbut oleh balatentara Mataram yang pantang menyerah itu. Entah tiba-tiba saja pihak Kumpeni Belanda mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran manusia ( maaf!) dan menembakkannya ke arah pasukan-pasukan Mataram. Mungkin karena kesaktian serdadu Mataram kabarnya akan luntur jika dikenai kotoran manusia atau memang lantaran baunya yang begitu menusuk hidung maka balatentara Mataram yang tidak tahan bau itu pun kucar-kacir alias ambil langkah seribu sambil berteriak, ”Mambet tahi! Mambet tahi!” (Bau tahu!). Dari teriak-teriakan itulah kemudian lahir nama Betawi.Dan, kisah serangan dengan menggunakan kotoran manusia tersebut sehingga melahirkan nama Betawi yang kondang sampai sekarang ini juga terdapat dalam dongeng-dongeng tradisional Jawa seperti Babad Tanah Jawi dan sebangsanya. Bahkan, dalam kitab Serat Baron Sakender disebutkan bahwa kota Batavia yang dapat dibagi menjadi dua yakni Kota Tahi dan Kota Intan. Kabarnya nama ‘Betawi’ juga berasal dari kata ‘Batavia’. Kata ‘Batavia’ sendiri berasal dari kata ‘Batavieren’. Dan, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sendiri sebenarnya juga tidak menyukai nama ‘Batavia’ bagi kota yang berhasil direbutnya dari sebelumnya bernama kota Jayakarta atau Jacatra. Coen lebih menyukai kota itu dinamakan ‘Niew Hoorn’ mirip dengan kota kelahiran Jan Pieterszoon Coen di kota Hoorn, Negeri Belanda. Namun lepas dari benar atau tidaknya asal-muasal nama atau kata Betawi, hingga kini Betawi tetap menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari Ibu kota Jakarta tercinta. Sayangnya, hingga kini belum ada orang Betawi yang memimpin Jakarta sebagai gubernur. Kalu pernah, hanya sampai wakil gubernur. Makanya ketika Bamus Betawi mengelar acara halal bi halal pada hari Minggu (20/1) sekaligus memberikan gelar Mpok dan bang kepada Mega dan Taufik mengusulkan agar ke depan Gubernur Jakarta dipegang oleh orang Betawi aseli (maksudnya asli alias tulen Betawi).
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 22.58 0 komentar
Sedikit tentang Pitung
Kalau Inggris punya Robin Hood, si pemanah ulung dari hutan Sherwood. Betawi juga punya jagoan yang gak kalah gahar, namanya Pitung, jawara dari Rawabelong. Dua-duanya memang mirip, sering mencuri hartanya orang tajir yang serakah buat orang miskin.Kata Bang Somad yang saban ari nongkrong di Mesjid Al Alam, Marunda, Si Pitung lahir di Rawa Belong dari pasangan Bang Piun dan Mpok Minah. Kemudian belajar mengaji dan silat sama Haji Naipin.Setelah dewasa, Pitung melihat orang Betawi sering jadi korban ketidakadilan Kumpeni. Ceritanya, begitu dia sudah jago mengaji dan silat, dia bikin gerakan perlawanan bersama para jawara dari Tangerang, Priok, malah ada yang dari Banten ikut bergabung ke komplotannya Pitung. Salah satunya temannya yang juga kesohor namanya Ji’ih. Komplotan Pitung sering merampok hartanya tuan tanah atau pembesar Kumpeni. Setelah itu uang rampokannya dibagikan ke orang miskin. Makanya, biar kate banyak yang bilang dia pencuri, buat orang miskin dia adalah pahlawan. Pitung juga tidak suka dengan ulah Kumpeni yang seenak udelnya narik pajak sama orang-orang miskin.Ulah Pitung rupanya membuat gerah Kumpeni, Si pitung jadi buronan. Mulai dari centeng bayaran sampai marsose Belande semua nguber-nguber dia. Berkali-kali dia lolos, selain katanya dia punya ilmu ngilang dan kebal peluru, dia juga sering diumpetin sama orang-orang kampung yang membela dia, malah si Pitung ini sering dibantu sama Koh Ahong, pedagang keturunan Tionghoa yang anaknya cantik dan bodinya demplon. Si Pitung sering datang ke rumah Koh Ahong sekedar silaturahmi.Bang Somad melanjutkan cerita, setelah lama jadi buronan Kumpeni, Pitung akhirnya tertangkap Kumpeni yang pakai akal licik. Kumpeni datang ke rumah Haji Naipin, gurunya Pitung, Haji Naipin lantas ditodong pistol dan diancam keluarganya mau dibunuh jika tidak memberitahukan rahasia ilmunya Pitung. Terpaksa Haji Naipin kasih tahu. Kemudian Kumpeni segera menyusun strategi. Akhirnya di sebuah tempat yang tidak jelas persisnya, Pitung terdesak digempur pasukan Kumpeni, belum sempat dia mengeluarkan jurus ngilang, Kumpeni keburu menembak dia menggunakan peluru emas, akhirnya Pitung nyusruk di tanah dengan dada berlumuran darah. Soal kelemahan Pitung banyak cerita yang beredar, ada yang bilang kelemahan Pitung adalah dilempar telur busuk baru bisa ditembak. Bang Somad sendiri tidak tahu persis soal kelemahan Pitung, “Lha gua juga pan belon lahir. ” katanya singkat. Cerita Pitung memang sudah mengakar di kalangan masyarakat Betawi, masalah benar atau tidaknya orang tidak peduli. Yang jelas, sepak terjang Pitung dapat menjadi inspirasi buat kaum muda. Sekarang, rumah panggung peninggalan Pitung masih berdiri, di rumah itulah pernah tersulut gerakan heroik pemuda kampung, Pitung, si Robin Hood Betawi
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 17.25 0 komentar
Sejarah Betawi
Diposting oleh Betawi Punya gaye di 02.06 0 komentar